Rabu, 03 Juni 2009

PeRmInTaAn sAhAbAt....!!


PERMINTAAN SAHABAT
Oleh: S. Gegge Mappangewa

Suasana kantin masih sepi. Bel istirahat memang belum saatnya melantun. Kalaupun Yudith telah ada di sana, menikmati soft drink dingin bersama Wija, itu karena pelajaran olah raga usai lima belas menit sebelum waktunya.
Yudith, terlebih Wija, belum bisa mengungkap kata apapun. Hingga soft drink di depannya tinggal tersisa separuh, keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Wija mencari kalimat yang tepat untuk memulai, Yudith tengah mempersiapkan alasan jika Wija lagi-lagi dengan keputusannya.
“Ini bukan inginku, Yud!”
“Kamu ingat, siapa yang memperkenalkan Bening padaku? Kamu, Wija! Kamu lupa, gimana kamu memaksaku untuk mendekati Bening, karena katamu, daripada jatuh ke tangan orang lain, dan aku sangat kamu percaya untuk menjaga Bening,”
“Sekali lagi Yud, ini bukan inginku. Ini keinginan papaku. Bening juga berat bahkan hingga kini belum memutuskan untuk menerima tawaran papa.”
“Aku sahabat kamu kan, Wija?”
“Yud, Aku lakukan ini karena aku nganggap kamu sahabat. Kalau sudah papaku yang turun tangan, jangankan Bening, aku bahkan mungkin juga dilarangnya berteman dengan kamu.”
Yudith terluka mendengar pengakuan barusan. Seperti inikah sahabat? Mengedepankan materi, dan perasaan hanyalah sampingan. Ternyata salah bila menganggap persahabatan tak melihat latar belakang sosial. Dulu saat Yudith belum seperti sekarang, rumah megahnya belum berganti gubuk untuknya, bahkan berubah jadi bui untuk papanya, Wija seolah ingin mempersembahkan segala yang terbaik untuknya. Termasuk memperkenalkan Bening, adik Wija!
Pascaperkenalan itu Yudith tak menyimpan perasaan apapun pada Bening, meski sangat akrab. Mungkin karena dia telah menganggap Wija sebagai saudara, hingga Bening ikut hadir di hatinya sebagai adik. Yudith menggeleng saat dipaksa mencintai Bening.
“Aku nggak ingin Bening, adikku, jatuh ke tangan cowok nggak becus. Apalagi kulihat Irfan sering mengantarnya pulang sekolah!” alasan Wija saat itu.
Tapi kini, Wija datang untuk memisahkannya dengan Bening, saat Yudith telah mencoba, bahkan selama dua tahun memaksa hatinya untuk mencintai Bening yang sebelumnya tak pernah hadir di hatinya, kini Wija meminta dia untuk mundur, setelah cinta itu merekatkan hati dia dan Bening. Alasannya sangat masuk akal, papa Wija tak mengijinkan anaknya jalan dengan anak seorang koruptor yang kini menebus dosa di bui.
Bukan hanya Wija dan Yudith. Papa mereka pun adalah sahabat lama yang bekerja dalam satu instansi. Bahkan perkenalan Yudith dan Wija, juga karena papa mereka yang sering saling mengunjungi layaknya kerabat. Tapi saat papa Yudith terbukti korupsi, lalu harta tersita, papa dijatuhi hukuman dan terkunci dalam sel, tiba-tiba saja Yudith seperti mengidap penyakit menular yang harus dijauhi, dikucilkan!
“Aku terlanjur mencintai Bening…”
“Bening juga seperti itu, Yud! Aku kasihan melihat dia, menangis dan menangis saat dipaksa papaku untuk menjauh darimu.”
Teriris hati Yudith membayangkan Bening menangisinya.
“Yud, ini bukan salah papaku. Tapi papamu yang…”
“Berhenti menghakimi papaku, Wija!”
Yudith paling tak suka pada orang yang hanya melihat keburukan papanya. Yudith sangat ingat, bagaimana papanya berkarir di kantor. Tak pernah mementingkan urusan keluarga daripada urusan kantor, bahkan waktu pun tak ingin dikorupsinya. Harus tiba di kantor sebelum jam kantor, dan pulang setelah saatnya. Dan keuletan itu yang membuat karirnya menanjak. Di puncak karir itulah dia tergoda untuk ‘mengambil lebih’ dari apa yang harus diterimanya. Ya, dosa papa terjadi saat tiba di puncak karir, dan itulah yang orang-orang lihat, tanpa pernah mau berpikir bahwa papanya dulu tak sejahat itu.
Dia bukan ingin membela papanya dengan asumsi bahwa korupsi itu manusiawi. Dia hanya ingin orang lain tak melihat sisi buruk papanya saja, karena dia tahu, papanya sangat berjasa dalam perkembangan perusahaan. Nila setitik itu, benar-benar telah menodai susu sebelanga.
Di saat dia butuh sahabat untuk menenangkannya, semua orang menjauh. Untunglah Yudith tegar. Berpijaklah pada kenyataan, Yud! Ungkap batinnya saat ingin berlari menjauh. Bukan hanya dia, ketegaran yang dibangunnya, juga membuat mamanya masih bisa memiliki senyum. Dia selalu menenangkan mamanya, untuk menerima jalan hidup yang membentang di depannya. Juga tak pernah bersikap kurang ajar di depan papanya. Yudith tetap memperlihatkan bahwa dia masih bangga punya papa sepertinya.
Jika dia tak bersikap seperti itu, mungkin saja mamanya sudah stroke, lalu lumpuh, atau papanya berpindah dari bui ke bangsal rumah sakit jiwa.
Yudith telah melalui separuh cobaan untuknya dengan sabar, bahkan tanpa air mata. Tapi saat diminta untuk melepaskan Bening, dia tak bisa. Bukan semata karena cintanya tak bisa berpindah, juga karena dia merasa terhinakan dengan perlakuan Wija.
“Jika saja kamu memintaku mundur bukan karena aku terjatuh miskin, papaku terperosok di lumpur, aku nggak akan berkeras hati seperti ini. Di mana perasaan kamu, Wija? Saat senang kamu menjadi sahabatku, bahkan mencomblangin aku dengan adikmu. Tapi saat aku susah, kamu ingin mengambil semua pemberianmu kembali. Harusnya saat seperti ini kamu ada di dekatku, itu jika kamu benar-benar sahabatku.”
Inilah untuk pertama kalinya Yudith menangis. Bukan atas nama cinta untuk Bening, juga bukan karena takdir buruk yang tiba-tiba menimpanya, tapi karena perlakuan sahabatnya.
Bel istirahat berlalu dari pendengarannya. Siswa yang berhamburan masuk kantin, membuat suasana tak cocok lagi untuk mereka. Yudith beranjak demi menyembunyikan air matanya dari siswa-siswa yang lain. Saat merogoh saku untuk membayar menu pesanannya, Wija cepat mencegatnya dan langung mengambil alih untuk membayar. Yudith terjaga. Dulu Wija tak pernah melakukan itu, setiap habis makan, siapa yang duluan berdiri itulah yang mentraktir. Sekarang, Yudith tak dipantaskan lagi untuk mentraktir.
“Jangan tersinggung! Aku tahu kamu punya uang. Ini hanya sebagai bukti bahwa aku masih sahabatmu,” ucap Wija membaca ketersinggungan Yudith.
“Aku nggak pernah menilai persahabatan dengan materi!” sinis Yudith. Wija yang akhirnya tersinggung.
***
Yudith menangis lagi. Kali ini di depan papanya. Dia tak tega untuk tak menangis menyaksikan papanya berseragam napi. Tubuh kekar papanya, disaksikannya tak lagi seperti dulu.
“Maafkan papa,”
“Aku menangis bukan menyalahkan papa ataupun takdir. Aku kasihan melihat papa,”
Papanya menggeleng. Lagi-lagi diakui papanya sebagai pelindung untuknya, saat papa membawanya ke dalam pelukan.
“Yudith, aku mengajak kamu melalui cobaan ini apa adanya. Terima dengan sabar, Yud! Bantu aku meyakinkan mamamu bahwa ini adalah kenyataan, jalan hidup yang harus dilalui. Mungkin seperti merintis jalan setapak saat tersesat di tengah rimba. Kita nggak hanya butuh kompas, tapi juga kesabaran.
Kita juga butuh waktu untuk terbiasa, kamu dan mamamu terbiasa hidup miskin, dan papa di sini terbiasa dalam segala keterbatasan ruang dan gerak. Jika semua sudah biasa, ini tak akan menjadi derita, tapi sebuah pengalamaan berharga.”
Papanya meleraikan pelukan, menatap wajah Yudith untuk memastikan jika anak satu-satunya itu bisa menerima kenyataan.
“Gimana dengan Bening? Dia nggak kecewa kan dengan semua ini?”
Yudith mengangguk pasti. Dia memang sangat tahu, jika Bening tak mempermasalahkan masa lalu papanya. Terlebih, dia sangat tahu jika Bening terlalu mencintainya. Hanya saja, Papa Bening yang tak menghendaki hubungan mereka terus berlanjut.
Saat pertanyaan beralih tentang Wija dan papanya, Yudith tak tahu harus bercerita apa. Wija sahabatnya, tak bisa berbuat banyak saat papanya, yang juga sahabat karib dengan papa Yudith, berkehendak untuk memisahkannya dengan Bening.
“Om Rasyid melarang Bening jalan denganku lagi,”
Jelas sekali jika papanya menerima kalimat itu sebagai pukulan. Dulu Yudith memperhatikan air muka papanya saat palu hakim diketukkan yang memvonisnya sebagai pelaku tindakan korupsi. Air muka seperti itu, kini mengalir lagi di wajah papanya.
“Kita sudah miskin, Pa! Siapapun akan berlaku seperti itu pada keluarga kita sekarang, Pa.”
“Tapi Rasyid nggak boleh berlaku seperti itu,”
“Karena dia sahabat papa? Wija juga sahabatku, tapi sedikit pun dia nggak mau membantu dengan membujuk papanya untuk nggak memisahkanku dengan Bening. Manusia itu musim, Pa. Suatu waktu akan berubah.”
Papanya tetap menggeleng. Yudith bisa mengerti ketakmengertian itu. Dia tahu betul, papanya dan papa Wija berteman sejak masih sekolah. Apalagi saat media mengangkat nama papa sebagai tersangka tindakan korupsi, papa Wija setiap saat datang menenangkan papanya. Bahkan saat papa divonis hukuman penjara, papa Wija masih di samping papa dan berjanji tak akan membiarkan Yudith dan mamanya hidup terlantar.
Tapi jangankan membantu dengan menyediakan rumah tinggal, saat seluruh kekayaan tersegel, papa Wija bahkan tak ingin tahu ke mana dia hidup setelah keluar dari rumah. Padahal papa Wija punya banyak rumah yang dikontrakkan bahkan masih kosong.
“Om Rasyid mungkin membuat papa kecewa, tapi kuharap papa percaya bahwa masih ada aku dan mama yang membanggakan papa.”
“Tapi papa mendekam di sini, bukan karena ulah papa sendiri. Rasyid yang paling berhak atas hukumanku ini…”
Yudith meminta papanya mengecilkan volume suaranya. Dia takut ada sipir penjara yang mendengar semua kalimat papa. Dia menerbangkan pandangan ke setiap penjuru ruangan, saat tak mendapatkan siapa-siapa, dia meminta papanya untuk melanjutkan kalimatnya.
Terlalu. Sangat menyakitkan memang. Ternyata papanya dan papa Wija, makan sepiring dalam kasus korupsi itu. Bahkan papa Wija yang paling banyak mengambil keuntungan. Terlebih lagi, papa Wija adalah pemain lama yang selalu lolos dari sangkaan karena barang bukti berupa tanda tangan selalu ada di rekannya.
“Rasyid memintaku, memaksaku menandatangani cek kosong itu, Yudith! Papa nggak mau, tapi sebagai bendahara kantor, apalagi yang memintaku adalah pimpinan sekaligus sahabat. Belum lagi, Rasyid berjanji akan melindungiku…”
Papanya tak bisa melanjutkan kalimatnya. Inilah untuk yang pertama kalinya dia melihat papanya menangis karena dosa yang telah dilakukannya. Tangis terhianati memang selalu lebih sakit dari tangis karena apapun.
“Aku harus mengungkap semua ini. Selama ini papa menganggap Rasyid akan menjadi pelindungmu di luar penjara, tapi ternyata mengucilkan kamu. Papa yakin, pasti karena dia nggak ingin dicurigai terlibat. Jika dia bisa menganggapku bukan lagi sebagai sahabat, aku juga bisa menganggapnya sebagai musuh!”
Yudith menggeleng. Dia tak ingin ada dendam. Dia tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada Wija sahabatnya, juga pada Bening, jika cobaan serupa ini ikut menimpa keluarganya.
“Pa, kuharap papa tutup mulut,” pelas Yudith.
Papanya menggeleng. Yudith juga tak ingin mengalah. Memelas, memaksa, bahkan menangis di depan papanya agar tak menjebloskan papa Wija ke dalam penjara. Saat petugas penjara datang menjemput papanya untuk kembali ke kamar tahanan, perdebatan itu terhenti. Tanpa keputusan.
Tapi saat hendak berlalu dari hadapan Yudith. Papanya mengangguk pelan, menandakan bahwa dia mengalah, untuk tidak buka mulut.
Yudith kemudian pergi, pulang ke rumah, dan tak akan pernah melangkahkan kaki untuk menemui Bening. Bukan benci pada papa Bening, tapi karena dia tak ingin kecurigaan atas kasus korupsi beralih ke papa Bening. Semua karena cintanya pada Bening, juga pada Wija sahabatnya.
Tapi saat tiba di rumah. Tivi ukuran kecil yang terletak di ruang tamu sempit berlantai campuran semen kasar, menampilkan sosok papa Wija di hot news, sebagai tersangka kasus korupsi. Ternyata kunjungannya ke rumah tahanan menjenguk papanya barusan, tanpa didampingi petugas saat ngobrol dengan papanya, bukan sebagai keteledoran petugas, tapi sebagai jebakan. Sebuah kamera tersembunyi terpasang di sudut ruangan, juga tape recorder di bawah meja. Semua pembicaraannya dengan papanya di rumah tahanan tadi, kini disiarkan oleh hampir semua siaran tivi swasta.
Telepon berdering. Dari Wija!
“Yudith, mamaku masuk rumah sakit. Stroke!”
Yudith ikut merasakan luka sahabatnya itu.
***
Besoknya. Telpon berdering lagi.
“Yudith, Bening meninggal karena over dosis. Drugs!”
Yudith menghapus air mata lagi. Karena baru saja dia menyaksikan di tivi jika papa Wija digiring masuk penjara.
“Wija, kamu masih punya mama meski belum sadar dari koma. Kamu masih punya papa, meski kini dalam penjara. Kamu masih punya aku, sebagai sahabat, meski telah kamu kecewakan. Terlebih, kamu punya dirimu sendiri, meski kutahu ini terlalu berat untuk kamu pikul. Pintaku, kamu harus tegar, untuk menyelamatkan milikmu yang masih tersisa itu.”
Wija menutup telepon tanpa pamit. Dia akan memenuhi permintaan Yudith untuk tetap sabar. Tegar!
***













0 komentar:

Posting Komentar