Rabu, 03 Juni 2009

SaHaBaT2 yAnG PeRgI....


SAHABAT-SAHABAT YANG PERGI
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Sehari setelah nyontreng, pagi-pagi sekali, aku bergegas pulang. Rindu pada ayah dan ibu memuncak untuk ditunaikan. Entah, apa namanya. Kekanak-kanakkan, cengeng, atau entah …. Aku tak pernah bisa bertahan di Makassar dua bulan, tanpa pulang menemui ayah dan ibu. Padahal, komunikasi lewat telepon tak pernah putus. Kali ini, Pemilu yang memberiku kesempatan pulang.
Seperti biasa, Honda yang kutunggangi tak hanya mengantarku tiba di pelukan rindu ayah dan ibu, juga selalu mengantarku ke lorong masa lalu dan melambungkanku ke mimpi masa depan. Sepanjang perjalanan juga akan menjadi lintasan muhasabah. Makassar – Sidrap, aku butuh waktu lebih kurang lima jam perjalanan, bahkan terkadang lebih karena hampir di setiap perjalanan pulangku, aku selalu menyempatkan untuk singgah shalat sekaligus tidur.
Kali ini, aku akan bercerita tentang kota yang selama ini menjadi persinggahanku. Sekitar lima kilometer sebelum memasuki kota Barru. Aku selalu singgah di sini, karena hasil ‘perhitungan’ spidometerku, daerah ini adalah median jarak yang harus kutempuh. Bagiku, kota yang paling membosankan setiap perjalanan pulangku adalah Barru. Terlalu panjang! Tapi kali ini, tak begitu panjang. Entah berawal dari mana, satu per satu sahabat yang pernah ada di kota Barru ini bermunculan menemani perjalananku.
Sahabat pertama yang muncul adalah sosok yang pernah muncul dalam hari-hariku saat masih kuliah dulu. Kami satu kosan. Meski tak terlalu akrab, mungkin sudah dikategorikan sebagai sahabat. Sukri namanya. Asli Barru! Orangnya rame. Suka bercanda. Bahkan candanya terkadang keterlaluan. Entah berapa menit, kenangan bersamanya melintas di benakku. Dan saat kenangan bersamanya berkelebat, teriring doa tulus untuknya. Doa ketenangan sekaligus kesejukan pada raganya yang kuyakin hanya tersisa tulang berserakan, tapi ruhnya akan tetap terhimpit bumi. Dia pergi secara tragis dalam sebuah kecelakaan yang meremukkan seluruh tubuhnya hingga tubuh itu bermandikan darahnya sendiri.
Terlalu tragis! Aku berusaha membuang kenangan itu. Menyeramkan untuk dikenang, apalagi sekarang aku pun sedang mengendarai motor. Dulu Sukri kecelakaan saat pulang kampung dengan mengendarai motor, sama dengan yang kulakukan saat ini. Sekali lagi, bayangan itu kutepis. Dan saat layar memoriku berganti, seorang cewek bermata lembut mengganti sosok Sukri di ingatanku. Seperti halnya Sukri, dia juga asli Barru. Aku mengenalnya saat pembekalan KKN. Kami satu kecamatan. Seniorku di Teknik yang memperkenalkan cewek berkulit putih lembut itu padaku. Dari tuturnya, kucoba menerka bahwa dia cewek yang juga berhati lembut.
Awalnya perkenalan itu ‘kuanginlalukan’ saja. Tapi dalam perjalanan ke Enrekang (lokasi KKN), ban mobil kempes. Kami turun istirahat. Dia datang menyodorkan kacang untukku. Kami menikmatinya tanpa suara hingga bis berangkat lagi.
Kedekatan kami akhirnya berubah menjadi sahabat ketika teman seposko di lokasi KKN, ternyata akrab dengan cewek itu karena satu fakultas di Ekonomi. Hingga suatu kesempatan, posko lagi sepi, dia transit di poskoku. Teman seposkoku lagi ke kota kabupaten. Sambil menunggu kendaraan yang akan ke poskonya, kami bercerita. Aku sudah lupa apa yang kami cerita. Tak ada yang istimewa. Tapi dari perbincangan kami, kutahu kalau senior yang memperkenalkannya padaku di acara pembekalan KKN adalah pacarnya. Tapi dari tatapannya, kutahu jika dia menyimpan sesuatu. Dan rahasia itu terbongkar saat seorang cowok, teman seposkonya datang menjemput. Aku berkesimpulan, mereka terjangkit virus cinta lokasi.
Persahabatan kami ternyata tak terputus meski KKN berakhir. Biasa bertemu di kampus, bahkan terkadang bertemu di rumah teman seposkoku yang sudah akrab duluan dengannya karena satu fakultas sekaligus bahkan program studi.
Ijinkan aku merahasiakan nama sahabatku itu.
Sahabat itu ternyata punya nasib cemerlang. Tak perlu susah payah cari kerja setelah wisuda, dia diterima kerja di sebuah perusahaan bonafid di Makassar. Jodohnya pun berkilau. Belum setahun kerja dia dilamar, dijodohkan tepatnya dengan seorang pengusaha. Tapi ternyata dia tak bisa menerima itu. Virus cinta lokasi yang menjangkitinya tak bisa dia jinakkan. Bahkan seniorku pun dia tepis. Tapi siapa yang bisa menolak jodoh? Pengusaha itu adalah jodohnya! Dan mereka harus menikah. Meski di malam pertamanya, dia melarikan diri dari rumah. Berlari mencari lelaki yang pernah menyuntikkan virus cinta lokasi untuknya.
Berlari dia menjauh. Sejauh mungkin. Tapi kaki tangan suaminya dapat menemukan dia di tempat persembunyiannya. Tapi itu belum berakhir. Hanya beberapa hari bermuka manis di depan suaminya, dia menghilang lagi.
Dan siapa sangka, itu adalah kepergiannya yang terakhir. Dia tak pernah kembali lagi. Dia pulang. Terakhir kudapatkan dia tergeletak, tak berdaya di ruangan rumah sakit. Aku dan teman KKN menEmukannya setelah seseorang menelpon kami untuk ke rumah sakit. Malam itu juga, persahabatan kami berakhir. Dia benar-benar pulang bersama lever yang menyerangnya. Dan perjalanan Sidrap - Makassar kali ini, tepat di Kabupaten Barru, kukenang sekaligus kukirim doa untuknya.
Sidrap masih jauh. Masih di Barru. Dua sahabat yang pergi itu membuatku terjaga, kapan giliranku? Kucoba mencari sahabat di Barru yang pernah hadir di masa lalu, tapi cepat kutepis. Cerita yang akan muncul jauh lebih tragis dari kisah Sukri dan cewek bermata lembut itu. Tapi sahabat-sahabat yang pergi itu sedikit menguatkanku, tak ada kisah yang kekal. Semua akan ber-ending…. ***


0 komentar:

Posting Komentar