Kamis, 04 Juni 2009

DeWi..PeNoLoNg.....


Oleh: S. Gegge Mappangewa

SUASANA rumah sakit cukup ramai. Lalu lalang perawat dan tim medis lainnya yang berseragam putih bersih, seolah tak terlihat di mata Neno. Dia ragu pada keputusan yang sejak dari rumah tadi, telah bulat. Dia merasa telah menghianati persahabatannya dengan Hanna, jika dia melakukan apa yang kini ada di benaknya.
Persahabatan? Mungkin lebih dari itu! Neno merasa, Hanna banyak membantunya. Sejak memutuskan untuk tidak menerima bantuan apapun dari Mama dan Papanya, hidupnya bergantung pada Hanna. Mulai dari biaya makan hingga uang yang digunakannya tiap hari, semua berasal dari uang saku Hanna yang juga didapatkan dari orangtuanya yang pas-pasan pula.

Ini bulan ketiga dia membuang diri. Entah sampai kapan dia harus bertahan. Bulan depan dia harus membayar SPP. Selama ini, kalau pun uang Hanna cukup untuk hidup berdua, itu karena mereka berhemat. Selain uang untuk makan dan keperluan sekolah, tak ada biaya lain yang keluar.
Ego Neno belum juga reda. Setiap bulan saldo rekeningnya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Tapi sedikit pun dia tak ada niat untuk mengambil uang pemberian Mama dan Papanya. Dia mengecek saldo via ATM, bukan untuk tahu jumlahnya, tapi untuk memastikan bahwa Mama dan Papanya telah resmi cerai.
Saldo yang dua kali lipat itu, cukup sebagai bukti bahwa Mama dan Papanya tak bisa akur. Mama juga Papanya, mungkin kasihan pada Neno atau mungkin cuma ajang promosi agar Neno mau memilih satu di antara mereka. Mama atau Papa! Mereka berdua saling ingin membuktikan cintanya pada Neno, dengan tetap mentransfer uang untuknya. Sayang sekali, Neno tak butuh itu. Dia ingin buktikan pada Mama dan Papanya, jika dia akan pergi dari rumah dan tak akan kembali, juga tak butuh apapun, bila Mama dan Papanya tak rujuk kembali.
Neno merasa segalanya telah hancur. Semuanya telah terlanjur. Jadi buat apa pulang ke rumah? Hanya melukakan jika tahu yang bertahan di rumah itu, Mama atau Papanya. Saking tak inginnya berhubungan lagi dengan Mama dan Papanya, kartu teleponnya dia buang, ponsel pun dia jual untuk biaya hidup sehari-hari.
Susah memang. Apalagi saat seperti ini, kondisi tubuhnya tak fit dan dia butuh uang untuk berobat. Uang dari mana? Dari Hanna? Neno cukup mengerti jika itu terlalu memberatkan, meskipun rumah sakit yaang ditujunya bukanlah rumah sakit swasta yang biayanya bisa mencekal leher. Padahal dulu, Neno punya dokter keluarga. Tinggal telepon, dokter datang mengetuk pintu. Sekarang? Dia masih ragu di antara keramaian rumah sakit.
Semalam dia mendapatkan kartu identitas berobat milik Hanna. Tanpa sengaja. Saat dia asyik membersihkan laci meja belajar dari kertas-kertas yang tak berguna. Tinggal di kamar kos adalah hal yang baru buat Neno, makanya setiap hari dia mencari kesibukan meskipun itu hanya dengan membersihkan kamar.
“Ini kartu berobat kamu, Han?”
Hanna merenung lama sebelum menjawab pertanyaan itu. Itu pun dengan anggukan.
“Aku pinjam ya? Akhir-akhir ini maag-ku kambuh. Pakai kartu ini, aku bisa bebas dari biaya adminitrasi. Lagian dokter nggak mungkin tahu kalau aku menyalahgunakan kartu orang lain. ”
“Ja…jangan! Kartu itu sudah kadaluarsa. Mak…maksudku nggak terpakai lagi.”
Neno tentu saja heran dengan kegugupan Hanna. Selama ini, barang apapun milik Hanna, bebas dia pakai.
“Kalau cuma maag, nggak usah ke rumah sakit. Cukup makan teratur. Atau paling juga sembuh dengan minum obat yang beredar di apotek. Usahakan jangan terlalu banyak mikir! Tau nggak, stress bisa bikin maag kambuh?” lanjut Hanna lagi.
Neno tak berucap apa-apa lagi. Dia bahkan tak curiga sedikit pun dengan kegugupan Hanna.
Tapi tadi, saat Hanna keluar dan maag-nya kambuh lagi. Dia nekat membawa lari kartu berobat itu. Satu hal yang tak bisa dilakukan Neno selama memisahkan diri dari orangtuanya, adalah minum obat yang bukan resep dokter. Pikirnya, Hanna tak akan marah hanya karena persoalan dia melanggar larangannya untuk tidak memakai kartu berobat itu.
Kini, setelah tiba di rumah sakit, di antara perih lambungnya, dia tiba-tiba berpikir jika apa yang dilakukannya kini adalah bukti pengkhianatan. Dan dia tak ingin itu. Dia tak mungkin mengkhianati Hanna yang telah memberinya tumpangan hidup. Padahal kalau dilihat dari segi ekonomi, Hanna bukanlah orang yang pantas untuk menerima dan mau menghidupinya untuk jangka waktu yang tak tentu. Hanya kebaikan hati-lah yang membuat Hanna punya kesempatan berbuat baik, untuk menolong!
Hanna juga tahu jika Neno punya uang di bank, hasil transfer dari Mama dan Papanya. Tapi dia tak menginginkan apalagi menuntut Neno untuk membuang egonya, lalu menerima bantuan Mama dan Papanya. Bahkan bukan hanya sekali, Hanna menceramahi Neno agar tak menyimpan dendam pada Mama dan Papanya.
“Aku bukan bosan ataupun nggak mau menampung kamu lagi. Aku hanya ingin kamu baikan dengan Mama dan Papa kamu. Gimanapun, mereka orangtua kamu. Mereka pasti punya alasan sehingga memilih cerai.”
Kalimat itu sering diperdengarkan Hanna. Hingga saat ini, masihlah sebatas mengalun di indera dengar Neno, dia belum bisa menanamkannya di hati.
Neno menghempas napasnya keras. Dia membalikkan tubuh dari keramaian rumah sakit. Dia ingin pulang. Membiarkan perih melilit lambungnya. Dia tak ingin mengkhianati Hanna. Dia harus meminta ijin kembali pada Hanna untuk menggunakan kartu itu. Memang kelihatannya sepele, tapi sekecil apapun persoalan, jika hati merasa dikhianati, biasanya susah diobati.
“Mungkin ada yang bisa kami bantu?” tegur seorang perawat yang dari tadi memperhatikan dia melamun.
Neno ingin menggeleng, tapi perawat itu terlanjur melihat kartu berobat di tangannya.
“Mau berobat? Sini saya bantu.”
Neno seakan tak punya daya selain dari kekuatan perawat yang menarik lengannya ke meja resepionis. Dia mengikut saja.
“Sering sakit perut, mual…” ucap Neno saat ditanya.
“Silakan antri di bagian gastroentritis. Dari sini lurus, tepat di ujung koridor, belok kiri!” jelas perawat yang bertugas di meja resepsionis sambil menyerahkan nomor antrian.
“Terima kasih!” ucapnya pada resepsionis, juga pada perawat yng mengantarnyaa barusan.
Sebenarnya Neno ingin mengambil jalan lain untuk pulang ke rumah, tapi tepat di ruangan gastroentritis, nomor antriannya langsung disebut dan dipersilakan masuk. Neno menurut saja.
Selesai membayar uang pemeriksaan yang tak sampai sepuluh ribu, dia masuk menemui dokter yang bertugas. Senyum ramah dokter itu sedikit mnghapus kerinduan pada Mama dan Papanya yang biasa mengeluarkan uang ratusan ribu untuk penyakit maag-nya. Kini…? Tak sampai sepuluh ribu! Itu pun berat buatnya dan harus menyalahgunakan kartu Hanna demi menghindar dari biaya adminitrasi pembuatan kartu.
“Hanna?”
“Iya, Dok!” Neno mengangguk tegas meski dokter mengerutkan kening seolah tahu bahwa dia bukan pemilik kartu yang sebenarnya.
“Maaf, saya nggak hapal dengan semua pasienku.”
Dari buku pemeriksaan Neno mengintip jika Hanna pernah berobat di ruangan ini. Itu berarti, Hanna juga punya keluhan pada lambung dan usus. Dia mulai menyadari kebodohannya. Mengapa dia tak pernah berpikir jika bisa saja dokter mengenali Hanna jika sering berobat di rumah sakit ini, apalagi di bagian gastroentritis ini.
“Maag-ku semakin parah, Dok.” keluh Neno cemas.
Dokter menatapnya tajam. Nyali Neno berkerut. Pikirnya lagi, masih menyesali kebodohan, bukan tak mungkin Hanna yang cantik, meninggalkan kesan di hati dokter muda yang kini menatapnya. Jadi mustahil untuk membohonginya jika dia adalah Hanna.
“Jadi kamu masih yakin jika penyakit kamu itu maag? Tiga bulan yang lalu saya sudah bilang, gejala yang kamu rasakan kemungkinan besar bukan maag tapi gagal ginjal.”
Neno tentu saja kaget mendengar semua itu. Hanna ternyata masih menyimpan rahasia untuknya. Apa untungnya? Harusnya Hanna berterus terang agar dia bisa membantunya mencari solusi.
“Tiga bulan lalu, saya konsul kamu ke ahli bedah, karena saya yakin ginjal kamu sudah rusak parah. Tidak semua sakit perut adalah gejala maag. Saya tahu kamu tak punya uang banyak, aku bahkan meminta teman di bagian bedah untuk nggak membebani kamu uang check up. Tapi kamu nggak pernah check up ke sana.
Lagi pula, jika kamu positif gagal ginjal, pihak rumah sakit memberi keringanan bahkan gratis berobat bagi keluarga yang tidak mampu seperti kamu, asal punya surat pengantar dari RT setempat. Kamu masih mau hidup, kan? Jika benar ginjal kamu yang rusak, dan sejak tiga bulan lalu kamu biarkan begitu saja, kamu nggak punya banyak kesempatan lagi…”
Air mata Neno mengalir. Tak pernah dia sangka, jika sahabat yang telah menyelamatkannya selama ini, ternyata lebih butuh uluran tangan. Terjawab sudah mengapa Hanna tak ingin meminjamkan kartu identitas berobatnya. Hanna menyimpan rahasia hidup yang tak ingin seorang pun tahu, hingga hidupnya berakhir sekali pun.
***
“Kamu mulai nggak jujur, No.” serang Hanna saat Neno telah berdiri di ambang pintu kamar kosnya.
Tak mendapatkan kartu berobatnya di laci meja belajar, membuat Hanna yakin jika Neno tak mengindahkan larangannya untuk tidak memakai barang miliknya itu.
“Terlebih kamu, Han. Kamu bahkan membiarkan dirimu menderita sendiri, tanpa mau membaginya…”
“Ja...jadi…”
“Kalau kamu nggak ingin membagi keluhmu untukku, mengapa kamu mau mendengarku mengeluh, menolongku, padahal kamu sendiri lebih membutuhkan?” Suara Neno meninggi.
Hanna yang tadi kecewa dan emosi pada sikap Neno, sepertinya sibuk mencari alasan.
“Kamu nggak tahu…”
“Aku tahu kamu nggak punya uang, Hanna. Aku datang mengeluh dan minta bantuan padamu, bukan karena aku menganggap kamu anak orang kaya yang bisa menyelamatkanku, tapi karena aku tahu bahwa kamu mau menolong siapa pun…”
“Neno…”
“Han,” Neno tak memberi kesempatan. “Jika kamu bisa menolongku, meski kamu dalam keadaan susah, mengapa aku nggak? Mengapa kamu meragukanku?”
Neno terdiam sesaat. Memberi kesempatan air matanya untuk turun, tapi tak mmberi kesempatan Hanna untuk bicara.
“Selama ini aku egois, nggak bisa menerima keputusan cerai Mama dan Papaku. Tapi sekarang nggak. Penyakit maag membuatku insyaf, terjaga. Bahwa sebagai anak, aku nggak mungkin melepaskan diri dari orangtuaku.”
Neno mengeluarkan kantongan hitam berisi uang yang baru saja ditariknya dari ATM. Hanna tercengang menyaksikan itu. Dia tak pernah menyangka, Neno akan membuang harga dirinya, melepas egonya untuk tidak menerima bantuan Mama dan Papanya, hanya karena dia.
“Kamu harus sembuh, Hanna. Ini baru sebagian dari saldo di rekeningku. Aku nggak mau kehilangan kamu. Jika masih kurang, aku nggak akan berpikir dua kali untuk menelpon Mama dan Papaku. Aku nggak mau mempertahankan ego, lalu membiarkan seorang sahabat sepertimu pergi dariku.”
Hanna membatu. Pelukan Neno pun seolah tak kuasa dibalasnya. Selama ini, Hanna menyembunyikan penyakitnya karena tak ingin menyusahkan orang lain, termasuk Mama dan Papanya di kampung. Dia tak pernah protes, mengapa Tuhan mengirimkan penyakit untuknya. Dia bahkan yakin jika itu cara Tuhan untuk memintanya berbuat baik tanpa mengharap pamrih.
Tapi kini, seorang dewi yang baru saja dia bantu mengepakkan sayap patahnya, mengulurkan tangan untuk menolong. Dia terharu, ingin menolak. Tapi dewi penolong itu mengajaknya untuk terbang bersama. Disadarinya, setiap orang berkesempatan menolong, asalkan punya hati yang tulus. Dan hanya hati tuluslah yang akan dibayar pamrih, jika bukan sekarang, Maha Penolong menjanjikan sebuah hari pembalasan.***



0 komentar:

Posting Komentar